Minggu, 16 Desember 2007

Refleksi Kalimantan 2005: Nasib Kalimantan ke Depan

Refleksi Kalimantan 2005: Nasib Kalimantan ke Depan


Hasil kunjungan presiden SB Yudhoyono ke Cina beberapa waktu lalu menghasilkan satu kesepakatan besar yang berkaitan erat dengan nasib Kalimantan ke depan. Kesepakatan itu menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia akan bekerjasama dengan para pengusaha Cina untuk menjalankan megaproyek Lahan Sawit 1,8 juta ha di sepanjang perbatasan Indonesia dan Malaysia. Lahan sawit ini akan melintasi wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Argumen mengapa wilayah perbatasan yang menjadi sasaran megaproyek tersebut adalah menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat setempat, percepatan pembangunan daerah tertinggal, dan terutama menegaskan batas teritorial antara Indonesia dan Malaysia.
Tentu saja banyak kalangan yang bereaksi keras terhadap rencana megaproyek yang sudah ditandatangani tersebut. Penolakan paling keras diajukan oleh masyarakat lokal dan sejumlah NGO (Non-Government Organization) lokal yang bergiat di level grass-root. Penolakan serupa juga disuarakan oleh sebuah NGO nasional yang menguraikan bahwa rencana proyek lahan sawit ini seharusnya dibatalkan sebab perusahaan penggarap hanya berniat mengambil batang-batang kayu dari hutan yang ditebangi saja. Selain itu, yang paling fundamental, Proyek Lahan Gambut sejuta hektar (PLG) yang pernah dijalankan semasa pemerintahan Orde Baru lalu hanya menyisakan lahan yang tersia-sia sebanyak dua kali bahkan tiga kali lipat. Tidak kurang 3-4 juta ha dari lahan akibat proyek PLG itu kini hanya ditumbuhi alang-alang semata. Tidak heran kiranya jika kekhawatiran proyek lahan sawit 1,8 juta ha akan menambah luas padang ilalang di Kalimantan cukup beralasan.
Seperti halnya proyek PLG lalu yang menimpa banyak lahan masyarakat Dayak, proyek Lahan Sawit 1,8 jt ha jika dijalankan lagi-lagi akan mengorbankan masyarakat indijenus (indigenous people) Kalimantan ini. Kepentingan Jakarta sebagai pusat (center) memang lebih utama dari daerah-daerah yang hanya merupakan pinggiran (periphery). Entah, apakah harus disebutkan bahwa kebijakan yang dijalankan Jakarta mengekor kebijakan yang pernah dijalankan pemerintah kolonial bahwa daerah koloni (yakni Hindia Belanda) harus melayani kepentingan metropolis (yakni Kerajaan Belanda Raya). Faktanya, banyak sekali proyek pembangunan yang dijalankan di daerah-daerah hanya melayani kepentingan segelintir elit Jakarta semata.

Persepsi Salah tentang Hutan
Banyak dari kebijakan pemerintahan yang efeknya meminggirkan terhadap masyarakat lokal yang mendiami wilayah hutan dan pegunungan berakar dari persepsi yang keliru tentang hutan. Persepsi yang keliru ini jika hendak ditentukan titik kronologisnya adalah pada UU Kehutanan 1967. Dengan UU Kehutanan ini, kepemilikan hutan-hutan yang selama berabad-abad disepakati secara kolektif sesuai permufakatan adat dilangkahi dan dialihkan menjadi tanah yang sepenuhnya berada di tangan negara.
Bagi masyarakat Dayak di Kalimantan, teritori mereka sebenarnya sudah memiliki batasan masing-masing antara satu komunitas dengan komunitas lainnya. Batasan teritorial ini didasarkan atas narasi lisan, tumbuhan yang pernah ditanam, dan kuburan. Meskipun akarnya dari tradisi lisan (oral) tapi ditaatinya ketentuan batas-batas teritorial ini oleh komunitas-komunitas Dayak yang ada menjadikannya bukan isapan jempol semata. Kesepakatan peradatan ini yang selama ini alpa dilihat negara.
Adalah sebuah gejala umum bahwa dalam masyarakat-masyarakat adat yang utamanya tinggal di hutan dan pegunungan terdapat pengaturan teritori yang distinktif.
Perkembangan terakhir menunjukkan tentang dipetakannya batas-batas wilayah adat dari banyak masyarakat adat. Hal ini terutama dijalankan oleh NGO-NGO yang melakukan pemetaan partisipatif. Pemetaan partisipatif adalah pemetaan teritori masyarakat yang menggunakan skala geografis dengan melibatkan masyarakat setempat. Dengan pemetaan partisipatif masyarakat adat menjadi memiliki basis argumentasi modern yang selama ini selalu dimonopoli negara. Teritori adat ini yang semestinya diakui oleh negara.

Rasisme Kebangsaan
Mengapa teritori adat tidak diakui oleh negara? Tidak adanya pengakuan atas legitimasi peradatan ini selain merupakan warisan dari era revolusi ’45-an, tetapi terutama juga karena Indonesia Orde Baru yang menjalankan politik kebudayaan bernama “Politik SARA”. Dengan politik SARA ini maka problem-problem fundamental di sekitar relasi ras, etnik, agama, dan kelas ditekan ke bawah sadar politik. Problem-problem ini tak pernah dibicarakan dan diperdebatkan secara terbuka. Pemerintah Orde Baru berpandangan bahwa menabukannya dan menekannya ke bawah sadar politik akan menjadikannya reda dengan sendirinya. Namun, ini justru menanam api dalam sekam. Ia hanya menunggu momen untuk meledak menjadi ‘si jago merah’ yang menghanguskan segala.

Tidak ada komentar: