Minggu, 16 Desember 2007

Arus Demokratisasi: Keharusan Calon Perseorangan dan Partai Lokal

Arus Demokratisasi: Keharusan Calon Perseorangan dan Partai Lokal


Tulisan Fadjroel Rachman di rubrik opini Kompas 27/07/07 kemarin yang berjudul “Selamat Datang Calon Perseorangan” merupakan gambaran sukacita menyambut MK yang membolehkan calon perseorangan untuk maju dalam pilkada. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini memang disambut gembira oleh banyak pihak. Bagi Fadjroel keputusan MK ini akan mendorong partai politik melakukan revitalisasi karena realitas politik yang memaksa adanya repolitisasi dan reideologisasi. Fadjroel menyarankan presiden untuk mengeluarkan perpu (peraturan pemerintah pengganti UU) sebagai payung hukum mencegah konflik parpol vs masyarakat sipil akibat dibolehkannya calon perseorangan ini. Ia beralasan bahwa dukungan publik sangat kuat terhadap calon perseorangan. Perpu tersebut penting karena ada potensi konflik dalam pilkada ke depan. Pertama, pilkada Jakarta akan menuai banyak Golongan Putih alias Golput karena menginginkan majunya calon perseorangan. Kedua, banyaknya daerah yang akan melangsungkan pilkada yang jelas akan mendorong majunya banyak calon perseorangan.
Di edisi sama terdapat reportase Kompas tentang pandangan Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari yang memandang bahwa kesempatan bagi calon perseorang ini bisa menjadi embrio pendirian parpol lokal. Kaitan calon perseorangan dan partai lokal ini ditegaskan Presidium Uni Sosial Demokrat (Unisosdem) Bambang Warih Koesoema. Baginya membuka kesempatan bagi calon perseorangan akan lebih bermakna jika diiringi peluang hadirnya partai lokal. Pada titik inilah bahasan kita akan melihat kemungkinan tersebut.

Pemilu 1955 (General Election of 1955)
Melihat Indonesia sekarang, kita tak bisa mengelak dari melihat pengalaman di masa lalu. Penting diingat bahwa Pemilu 1955 yang dipandang sangat demokratis itu, turut diramaikan dengan hadirnya partai politik lokal. Tulisan Herbert Feith yang berjudul Pemilihan Umum di Indonesia 1955 yang sudah klasik itu menyingkapkan kenyataan ini. Bukan hanya parpol lokal, organisasi-organisasi maupun calon perseorangan juga ada. Feith membagi pengelompokan yang terbentuk dari Pemilu tersebut menjadi empat kelompok, Partai Besar, Partai Menengah, Kelompok Kecil yang Bercakupan Nasional, dan Kelompok Kecil yang Bercakupan Daerah.
Partai besar adalah partai yang memperoleh suara di atas dari 10% yakni PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Partai Menengah adalah yang perolehannya dari 1-3% yakni PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai Katolik, PSI (Partai Sosialis Indonesia), Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), dan IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia). Kelompok Kecil yang Bercakupan Nasional jumlahnya kecil di bawah 1%, antara lain PRN (Partai Rakyat Nasional), Partai Buruh, GPPS (Gerakan Pembela Panca Sila), PRI (Partai Rakyat Indonesia), PPPRI (Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia), Partai Murba, Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia), PIR (Partai Indonesia Raya) Wongsonegoro, Permai (Persatuan Marhaen Indonesia), PIR (Partai Indonesia Raya) Hazairin, PPTI (Partai Persatuan Tharikat Islam), dan Acoma (Angkatan Communis Muda). Kelompok Kecil yang bercakupan Daerah jumlahnya relatif sama dengan kelompok Kecil yang bercakupan Nasional. Kelompok kecil bercakupan daerah ini diantaranya adalah Gerinda-Yogyakarta, Partai Persatuan Daya-Kalimantan Barat, AKUI-Madura, PRD (Partai Rakyat Desa)-Jawa Barat, PRIM (Partai Rakyat Indonesia Merdeka)-Jawa Barat, R. Soedjono Prawirosoedarso dan Kawan-kawan-Madiun, Gerakan Pilihan Sunda-Jawa Barat, Partai Tani Indonesia-Jawa Barat, Raja Kaprabonan dan Kawan-kawan-Cirebon, Jawa Barat, Gerakan Banteng-Jawa Barat, PIR (Persatuan Indonesia Raya) Nusa Tenggara Barat-Lombok, PPLM Idrus Effendi (Panitia Pendukung Pencalonan L.M. Idrus Effendi)-Sulawesi Tenggara.

Kecerdasan Politik Massa Rakyat
Jamak dalam pandangan para teoritisi politik bahwa kecerdasan elit atau kelas menengah harus diterjemahkan ke rakyat. Pandangan ini menafikan kemungkinan bahwa rakyat memiliki dialektika kecerdasannya sendiri. Tidak bisa dikatakan bahwa kelas menengah lebih cerdas, sebab kenyataannya artikulasi politik di tingkatan massa rakyat sendiri bisa lebih canggih. Kenyataan canggihnya artikulasi politik ini bisa dilihat pada kasus Dayak Pitap yang luput dari perhatian media nasional.

Tidak ada komentar: